Sebuah Dongeng Dua Hati 2

Sebuah Dongeng Dua Hati 2



            “Kamu berada didunia mimpimu sendiri, Han,” Ucapnya, “Dan aku adalah pria yang menjadi pemeran didalam mimpimu.”
            “Apakah kamu bercanda? Bagaimana bisa kamu menjadi pemeran mimpiku, sedangkan aku saja belum pernah bertemu denganmu.” Aku menatapnya bingung. Bola mata biru laut itu menatapku begitu lembut. Aku merasakan adanya kupu-kupu yang berterbangan diperutku. Aku menelan salivaku dengan bersusah payah.
            “Kita adalah pasangan, Han. Tidakkah kamu menyadari itu?” Aku terkesiap. Pasangan? Oh..itu konyol. Meskipun sebenarnya, aku menginginkan hal itu terjadi. Aku tertawa garing berusaha menahan gejolak yang ada didalam dadaku. Berputar, memukul dan, itu membuatku pusing. Sensasi-sensasi aneh yang belum pernah aku rasakan.
            “Ah, aku tidak menyadarinya. Bagaimana kamu merasa yakin kalau aku adalah pasanganmu? Aku sedikit meragukan itu.”
            Kenza tersenyum manis. Oh..jangan senyuman itu, senyuman itu membuatku candu, mabuk, ingin melihat dan merasakan benda merah muda tipis itu. Suaranya begitu lembut, melewati lubang telingaku dan dadaku bergetar saat otakku mendapat sinyal suara itu. “Suatu saat kamu akan tahu, mengapa aku begitu yakin kalau kamu itu adalah pasanganku.” Jawabnya.
            “Tapi aku ingin mengetahuinya sekarang!” Ucapku dengan antusias. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Keras kepala.” Ucapnya.
            Aku mengerucutkan bibir merah mudaku, menggenbungkan kedua pipiku. “Ya, aku memang keras kepala. Kenapa? Apakah kamu menyesal jika aku adalah pasanganmu?” Aku bertanya dengan nada sedikit jengkel. Kenza menggeleng dan menghadapkan tubuhnya menghadapku, memperdekat jarak diantara kami berdua.
            “Tidak. Aku tidak menyesal. Aku. Tidak. Menyesal.” Ia berkata dengan penuh penekanan pada setiap kata. Ia merubah raut wajahnya menjadi serius. Aku gugup, aku takut ia marah kepadaku. Marah? Mem
angnya apa salahku?
            “Apakah kamu yakin, kalau kamu menginginkan jawaban itu sekarang?” Aku mengangguk dan ia tersenyum kembali. “Hmm..baiklah jika kamu menginginkan itu, aku akan melakukannya.” Ia menarik pinggangku untuk lebih dekat dengannya dengan tangan kanannya, bola matanya menatap bola mataku dengan lembut. Aku mulai terhipnotis dengan tatapan itu. Tangan kirinya terangkat dan mengusap tengkukku dengan lembut. Jari-jarinya terasa hangat dan halus. Lagi-lagi sensasi ini menggangguku, dadaku kembali bergejolak, mematikan saraf-saraf otakku untuk bekerja. Aku diam, menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.

  
            Wajahnya mendekat, bergerak sedikit memiring, nafasnya berhembus dan menerpa wajahku. Hangat. Wajah itu semakin dekat, lebih dekat hingga kini, aku merasakan seluruh tubuhku mati rasa. Lemas, terbuai dan bergejolak. Ia mempererat pelukan itu, menahan tubuhku yang terasa bagaikan kertas basah yang tidak bertenaga. Aku melingkarkan kedua lenganku kelehernya. Memejamkan mata dan merasakan…basah. Tunggu, tunggu! Basah? Aku rasa tidak ada hujan saat ini. Aku membuka mata dan mendapati wajah ibuku yang menatapku geram. Tangan kanan
nya memegang gelas kosong yang aku yakini, air itu sudah digunakan ibuku untuk menyiram wajahku.
            Aku mengerjapkan kedua mataku, menyesuaikan pupil mataku pada cahaya matahari yang begitu menyilaukan. Otakku bekerja keras mencerna apa yang terjadi saat ini. Hutan, bukit, Kenza, sensasi, dan..ciuman itu. Apakah mimpi? Tapi itu terasa nyata. Dan saat aku melirik ibuku lagi, aku baru menyadari. Itu adalah mimpi. Hhh..begitu sialnya aku.

Sebuah Dongeng Dua Hati 2

            “…dari tadi udah ibu bangunin juga! Apa kamu lupa kalau hari ini adalah hari pertama kamu sekolah?! Kamu mau telat, hah?!” Aku kembali mengerjapkan mata. Hari pertama sekolah. Hari pertama..sekolah. APA????? HARI PERTAMA SEKOLAH????? Aku terhenyak dan meloncat tiba-tiba dari kasurku. Ibuku ikut meloncat dari lantai, aku lekas turun dari ranjang dan menyambar handukku untuk segera mandi. Aku baru saja pindah sekolah dari Bandung ke Jakarta. Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baruku. Tadi aku sempat melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 06. 02. Itu artinya aku hanya memiliki waktu 28 menit untuk sampai sekolah. Aku bergerak secepat mungkin, setelah mandi, aku memakai baju putih abu-abu yang sudah ibu letakkan diatas ranjang. Aku menyambarnya dan memakainya dengan cepat. Menyisir rambut gelombang panjangku yang berwarna coklat sepunggung. Setelah itu memoleskan sedikit bedak dipipi dan lipglos dibibirku. Memakai jepitan berbentuk sayap putih diponi sampingku. Siap dan rapih. Aku menuruni tangga tak lupa dengan tas yang aku selempangkan dipundak kananku. Aku menemui ayah dan  ibuku, berpamitan dan mengambil uang saku yang telah ibu siapkan. Memakai sepatu lalu memakan roti bakar dengan segelas susu coklat yang hangat. Aku berjalan keluar rumah dan berlari menuju supir mobilku. Membuka pintu mobil dan duduk dengan santai didalam mobil. Pak Ujang—supirku—mulai menjalankan mobil menuju sekolah.
            Aku menghembuskan nafasku pelan. Untung saja aku tidak telat, kukira aku sudah terlambat mencapai sekolah. Masih ada waktu 10 menit lagi untuk masuk kelas. Aku berjalan memasuki area sekolah baruku. Berdoa supaya aku bisa mendapatkan teman disini. Tarik nafas, buang dengan perlahan. Hufhhh..aku siap. Disepanjang koridor, aku menjadi bahan sorotan para siswa dan sisiwi. Ada yang salah denganku? Atau bagaimana? Kenapa semua memandangku begitu? Aku berjalan sambil menunduk, terlalu malu untuk menjadi bahan sorotan. Saat berjalan, aku melihat dua buah kaki yang menghalangi jalanku. Aku memperhatikan kaki itu, beranjak mendongak keatas dan mendapati wajahnya. Seorang pria. Tidak asing. Aku menatap dengan serius. Hm..rambut coklat madu seleher, poni samping kanan, dan….bola mata biru laut yang terang. Bola mata itu, aku rasa aku pernah melihatnya. Tapi siapa ya? Aku sibuk memperhatikan hingga suara deheman pria itu membuyarkan pikiranku.
            “Ekehm..kita bertemu lagi, Han.” Ucapnya. Aku terkesiap. Suara itu, suara lembut yang membuat aku kembali merasakan sensasi dan gejolak aneh didadaku. Aku rasa aku mengingatnya sekarang, pria itu adalah, “Kenza.” Lirihku sedikit tercekat. Bagaimana bisa? Kukira itu adalah mimpi, tapi ternyata Kenza itu ada. Dan ini nyata. Oh..aku benar-benar bingung dengan semua ini.

0 Response to "Sebuah Dongeng Dua Hati 2"

Post a Comment

Terimakasih Atas Kunjungannya,Dilarang MengCOPAS Tuilsan diblog ini